Seperti sudah dijanjikan, dua orang lelaki bertemu di jempatan beton
dekat simpang tiga depan kantor pos. Yang satu kekar dan yang lain
kurus. Keduanya sama mendekatkan arloji ke mata, seolah hendak tahu apa
mereka tiba tepat waktu. Ketika itu malam belum lama tiba. Hujan yang
turun sedari sore, tinggal renyai. Malam menjadi kian gelap dan lebih
dingin hawanya. Salah seorang mengenakan mantel hujan. Yang lain
bermantel plastik transparan. Kerah mantel- nya sama ditinggikan sampai
menutup telinga. Kepala si ke- kar ditutupi oleh baret abu-abu. Si kurus
oleh topi mantel. Sedangkan tangannya sama membenam jauh ke dalam saku
celana. Mereka berjalan ke arah timur dengan setengah membungkuk,
mengelakkan dingin dan tiupan angin malam. Tak seorangpun yang
berbicara.
Nyala lampu jalan yang bergoyang-goyang ditiup angin itu, redup
cahayanya. Dibendung oleh kabut yang biasa turun di kota pegunungan itu.
Jalan itu lengang seperti kota ditinggalkan penduduk karena ada ancaman
bencana. Hanya bayangan kedua orang yang terangguk-angguk itu saja yang
kelihatan. Ketika mereka sampai di suatu simpang, si kekar bertanya
tanpa menoleh: "Kemana kita?"
"Terserah kau." jawab si kurus gersang.
Lalu yang kekar membelok ke kiri. Seperti itik jalan sekandang, si kurus
juga membelok. Sekarang jalan yang mereka tempuh mendaki. Tapi mereka
tidak melambatkan langkah. Sehingga mereka seperti tambah
terbungkuk-bungkuk dan kepalanya sama terangguk pada setiap kaki
dilangkahkan. Jalan itu lebih gelap oleh kerimbunan pohon-pohon di kiri-
kanannya. Dan kaki mereka sering terperosok ke lobang di jalan aspal
yang telah lama tidak diperbaiki. Keduanya dengan pikiran masing-masing.
Hanya derapan sepatu yang solnya sudah lembab yang meningkahi nyanyian
hewan malam.
"Gila. Dia berani. Sekali aku pukul, pasti klenger." kata si kekar dalam hatinya.
"Orang bertubuh besar, kekar, bangga dengan otot. Tapi tidak punya otak.
Dan kalau kaya, sombong. Tidak punya perasaan." kata si kurus dalam
hatinya juga.
"Mengapa dia berani? Apa dia punya ilmu? Ilmu apa? Ah, ilmu. Kalau orang
Indonesia punya ilmu, tidak akan bisa Belanda lama-lama menjajah negeri
ini. Tapi dia ini punya ilmu apa?" kata si kekar lagi pada dirinya.
"Homo homini lupus, kata Hobbes. Itu benar. Tapi tidak selamanya." kata
si kurus. "Karena orang kecil punya otak. Harus cerdik. Sejarah
mengatakannya begitu." kata si kurus masih dalam hati.
"Aku pecah kepalanya sampai otaknya berderai. Biar bangkainya tahu, jangan coba-coba melawan aku." kata si kekar pula.
Kini mereka melalui jalan yang mendatar sesudah membelok ke kanan lagi.
Langkah mereka seperti tertegun ketika mulai melalui jalan yang datar
itu. Napasnya sama menghem- bus panjang, bagai mau melepaskan hengahan
payah. Lalu mereka melintasi jalan lebar yang bersimpang. Tiba-tiba
sebuah jip militer datang dari arah kanan. Si kekar buru- buru menepi.
Tapi si kurus tidak peduli. Dia tidak meng- hindar. "Kamu mau mati,
hah?" bentak pengendera jip itu dengan iringan sumpah serapah.
Si kurus berdiri sambil menatap ke arah jip yang lewat tidak lebih
setengah meter darinya. Katanya dalam hati: "Sama saja watak kalian.
Tidak beretika. Tidak bermoral."
Rumah-rumah di kedua pinggir jalan itu sudah jarang le- taknya. Listrik
belum sampai ke sana. Hanya cahaya lampu minyak mengintip dari celah
dinding anyaman bambu. Rumah- rumah itu sunyi dan hitam. Sesunyi dan
sehitam alam hingga ke puncak bukit. Sedangkan bukit itu terpampang
bagai mau merahapi alam kecil di bawahnya. Tepat diatas perbatasan alam
yang pekat itu, sesekali cahaya terang mengilat. Bukit itu bagai
binatang merayap maha besar dalam kisah prasejarah. Mengerikan
nampaknya.
Tiba-tiba pintu rumah di pinggir kiri jalan terbuka.
Cahaya lampu minyak melompat keluar. Masuk ke gelap malam. Kepala
seorang perempuan menjulur. Dia memandang lama ke- pada kedua laki-laki
itu. Laki-laki itu juga memandangnya.
Ketika lelaki itu berjalan terus, kepala perempuan itu lenyap lagi ke balik pintu sambil menggerutu. "Sialan.
Bukan mereka."
Dan perempuan lain di dalam rumah cekikikan ketawa. Lalu hilang karena
pintu ditutup lagi. Cahaya lampu yang menjilat malam itu pun lenyap
bersamanya. Renyai tidak turun lagi.
"Kurang ajar. Berani bilang aku sialan. Kalau aku mau perempuan bukan ke seni aku, tahu?" kata si kekar masih dalam hatinya.
"Perempuan pemilik daging sewaan ini, sama saja dengan pemilik otot.
Sama tidak punya etika, tidak punya moral." gerutu si kurus.
Kemudian mereka tiba lagi di sebuah simpang. Jalan be- sar yang mereka
tempuh membelok ke kiri. Tapi mereka me- neruskan arahnya, melalui jalan
kecil tanpa aspal. Kerikil besar-kecil berserakan menutupnya.
Gemercakan bunyinya di- pijaki. Dekat di kiri kanan jalan meliuk-liuk
daun pisang ditiup angin. Berkepakan bunyinya menyela desauan angin yang
meniup dan nyanyian jengkrik. Bukit menghempang di hadapan mereka
hilang timbul disela daun pisang itu. La- ngit yang memberikan kilatan,
juga mengintip dicelahnya. "Tak kusangka aku ke sini di malam seperti
ini." si kekar berkata dalam hatinya lagi. "Mengapa aku mesti ke sini?
Seumur-umurku belum pernah aku ke sini. Jangkankan malam. Siang pun
belum. Gila benar."
"Orang kuat, orang kaya, itu maunya takdir. Jika enggan menghormati kaum
jelata, hormatilah takdir. Kalau mereka tidak mau, lawan takdir itu.
Takut melawan, terinjak terus. Kalau melawan, gunakan otak. Akali. Kalah
menang juga takdir." kata si kurus masih dalam hatinya.
Tiba-tiba keduanya sama terkejut. Langkah mereka sama terhenti, sambil
dengan hati-hati mengawasi sesuatu yang melintas cepat di depan mereka.
Rupanya seekor musang.
Berdesauan suara perlandaan badannya dengan dedaunan di semak itu.
"Huss, musang. Bikin kaget orang. Nantilah, aku bawa bedil ke sini. Boleh kamu tahu rasa." kata si kekar.
"Bagi kamu musang, selalu ada sekandang ayam untuk kamu terkam. Apalah
daya ayam karena sudah takdirnya begitu. Kata Hobbes hanya cocok untuk
binatang. Manusia yang bina- tang, ya, sama. Tapi aku manusia. Manusia
yang manusia. Kalau kuat, ya, jangan menindas. Kalau tidak mau melawan,
jadi ayamlah kamu." kata si kurus lagi.
Keduanya terus melangkah juga. Tapi lebih lambat. Si kekar seperti
mencari-cari sesuatu. "Orang kurus seperti kamu, sekali tetak, lehermu
patah. Berhari-hari kemudian orang akan mencari bau bangkai membusuk ke
sini. Bangkai itu, bangkai kamu. Karena itu jangan sekali-kali menentang
orang kuat." kata si kekar lagi. Masih dalam hati. Dia lebih
memperlambat langkahnya seperti dia merasa sudah sampai ke tempat yang
ditujunya. Dan memang tak lama kemudian mereka sampai ke suatu padang
luas yang membujur di sepanjang kaki bukit di kejauhan itu. Tiada pohon
tumbuh disitu. Selain belukar menyemak. Dulunya padang itu tempat
serdadu Belanda, sorja Jepang dan tentara revolusi latihan menembak. Di
sana Jepang juga memenggal nyawa orang yang dituduh pengkhianat. Tentera
revolusi pun meniru gurunya yang sorja Jepang. Sehingga padang itu
menumbuhkan fantasi yang menegakkan bulu roma setiap orang.
Orang-orang tawanan yang akan dibawa ke situ, sudah ke- jang duluan oleh
ketakutan atau cepat-cepat berdoa dengan seribu cara. Dan kini padang
luas yang sunyi dan menimbulkan fantasi seram itu, di malam berenyai,
dingin dan pekam, didatangi oleh dua lelaki. Dan padang itu, seperti
biasa menanti dan menyaksikan orang-orang yang dipenggal lehernya atau
ditembak mati tanpa peduli perasaan si kor- ban. Padang itupun sunyi
menerima kedatangan kedua laki- laki itu. Bersikap masa bodoh terhadap
segala apa yang di- lakukan oleh manusia terhadap sesamanya. Seolah-olah
berkata: "Hai manusia, silakan kalian saling bunuh." Tapi arwah manusia
yang dibunuh tanpa kerelaan, sehingga menumbuhkan fantasi yang
menghantu, seperti tidak menyentuh hati kedua lelaki yang mendatanginya
di malam itu.
"Dia mau menjagal aku, seperti yang dilakukan serdadu-serdadu itu." kata si kurus dalam hatinya.
"Kalau dia sampai mati aku gampar, orang akan menanyai aku. Polisi akan
menangkap aku. Matilah aku. Sialnya ini orang mau ke sini." kata si
kekar menggerutu pada dirinya. "Kalau aku dipenjarakan, akan apa
perasaan isteriku. Kalau aku dikuhum mati? Bajingan-bajingan akan
memburu istriku yang muda, cantik dan kaya oleh warisanku. Sialan".
Cahaya kilat memancar juga jauh tinggi dilangit, tanpa tenaga menembusi
gelap dan kesepian padang itu. Dan sese- kali angin meniup agak keras,
hingga daunan kayu bergoyangan menjatuhkan pautan tetesan air padanya.
Gegap berde- sauan bunyinya, bagai teriakan prajurit yang kemasukan
semangat mau mati yang bernyala dan haus darah.
Si kekar mendongakkan kepalanya seraya memandang sekeliling alam di
padang itu. Lalu katanya seraya menghenti- kan langkahnya, "Di sini
saja."
Si kurus pun menghentikan langkahnya. Masih menekur juga dia. Keduanya
kini tegak berhadapan, seperti dua orang yang mau mengatakan sesuatu
yang lama sudah disimpan.
"Mestinya dia ini tidak perlu aku bawa ke sini. Aku cari saja preman.
Suruh ajar dia ini. Habis perkara." kata si kekar. "Sialnya aku lancang
mulut mengajaknya berduel malam ini."
Cahaya kilat memancar lagi. Jauh di balik bukit sebe- rang ngarai yang
lebar itu. Redup, seperti tak bertenaga. Lalu kata si kekar dengan suara
redup seperti kilat itu:
"Tak pernah selama ini aku mengangankan datang kemari ber- samamu. Apalagi malam begini. Nyatanya kita kemari juga.
Kau tahu mengapa?"
Si kurus mengangkat kepalanya, seraya memandang ke arah kepala si kekar. Lalu katanya dengan suara yang gersang.
"Maumu 'kan?" Tapi dalam hatinya dia berkata: "Kau tahu kau kekar dan
kuat. Kau jadi berani membawa aku ke sini. Tapi aku punya harga diri.
Sekali aku kecut, seumur hidup aku kau dilecehkan."
Keduanya terdiam ketika angin bertiup rada kencang. Bersoraklah lagi
dedaunan menggugurkan tetesan sisa air yang bergantungan padanya.
"Kita telah bersahabat sejak SMP. Berapa lama itu? Kau ingat? Lebih dua
puluh tahun." si kekar memulai bicara sebagai awal pembicaraan yang
panjang dengan mengingatkan segala apa yang telah diberikannya kepada si
kurus selama mereka bersahabat kental. Nadanya membanggakan kelebihan-
nya dan melecehkan si kurus dengan kalimat sindiran.
"Sekali hari kau kenalkan Nita padaku. Katamu, temanmu. Aku naksir dia.
Aku lamar dia pada orang tuanya. Lalu kami kawin. Sejak itu kau berobah.
Mana aku tahu Nita pacarmu." kata si kekar.
"Kalau kapal suka berobah arah ke mana angin kencang bertiup, lebih baik
tidak menompangnya. Tapi ini bukan soal Nita. Ini soal harga diri yang
selalu kau lecehkan" kata si kurus. Masih dalam hatinya.
"Kau kira aku cemburu kalau Nita kemudian dekat padamu? Tidak. Aku tidak
cemburu. Karena aku tahu siapa aku, siapa Nita, siapa kau." kata si
kekar. Kemudian dengan nada yang tegar dia melanjutkan:
"Kalau kau mau ambil dia, ambil. Tinggalkan kota ini. Aku tidak suka
dilecehkan." Dia mencoba meneliti wajah si kurus. Namun gelap malam
menghalangi penglihatannya. Cahaya kilat tak membantu ka- rena terlalu
jauh di langit sebelah barat. Angin masih se- bentar-sebentar
menggoyangi dedaunan di ujung ranting.
"Kau tidak peduli kapalmu rindu pada teluk yang dalam, ombak yang
tenang. Itulah macam manusianya kamu. Seperti raja-raja dahulu kala.
Semua yang berada di bawah kuasamu, kamu pikir dapat diperjual-belikan.
Siapa mau dan tahan diperlakukan begitu terus-menerus?" kata si kurus
dalam hatinya juga.
"Sekarang, kita berada disini, di padang yang luas ini, di malam sehabis
hujan turun, dimana kilat masih sabung- bersabungan. Namun dalam hati
kecilku aku menyesali kehadiran kita disini. Aku merasa konyol.
Tapi.....kalau tidak dengan cara begini menyelesaikan persoalan kita,
hi- langlah harga diriku." kata si kekar dengan gaya orang partai yang
mencoba menumbuhkan kesan kagum yang diharap- kannya. Tapi si kurus
masih tidak menanggapi. Dia masih bersikap seperti tadi, berdiri tanpa
peduli.
"Betul-betul sudah pekat hatimu menantang aku secara jantan?" kata si kekar.
Si kurus tak menyahut. Tapi kepalanya tak menekur lagi. Tegaknya seperti menantang.
"Sekali lagi aku tanya, Apa hatimu sudah pekat?"
"Kau kira apa?" kata si kurus seraya menyurutkan sebelah kakinya selangkah.
Si kekar membuka mantel hujannya tenang-tenang. Disam- kutkannya pada
ranting belukar beberapa langkah dari tem- patnya. Sambil melangkah
digulungnya lengan panjang keme- janya. Selesai yang kiri, lalu yang
kanan. Juga dengan tenang. Tapi ketika dilihatnya si kurus masih terpaku
pada tempatnya berdiri, dia berkata lagi, "Mengapa tak kau buka
mantelmu? Kau menyesal?"
"Apa pedulimu?"
"Baik." kata si kekar sambil menyelesaikan menggulung lengan kemejanya.
Kemudian dia kepalkan tinjunya sambil menyurutkan langkah selangkah.
Siap untuk berkelahi. Tiba- tiba dia lihat sesuatu yang berkilat di
tangan si kurus. "Apa itu?" tanyanya.
"Pisau," jawab si kurus tegas.
"Oh. Kau berpisau? Itu curang namanya." kata si kekar seraya menyurutkan kakinya selangkah lagi.
Tak ada jawab si kurus.
"Kalau kau main curang, buat apa kejantanan? Aku tidak mau berduel dengan orang curang." kata si kekar.
"Kencing kau." carut si kurus untuk menghina.
Si kekar kehilangan nyali. "Kalau aku tahu kau bawa pisau ......."
Dan angin bertiup lagi. Dedaunan berdesauan pula. Kini seperti bersorak
girang atas kemenangan orang kecil atas keangkuhan orang besar.
Lama kemudian si kekar berkata lagi, tapi dengan suara yang kendor. "Aku
orang terdidik. Terpandang pada mata ma- syarakat. Aku tidak mau mati
terbunuh oleh sahabat karib- ku sendiri. Tak aku sangka, kau mau
membunuhku."
"Mestinya aku ludahi wajahmu. Tapi apa gunanya menghina orang yang
kalah?" kata si kurus dalam hati. Seketika ada pikiran yang
mengganggunya, bagaimana kalau si kekar jadi pemenang. "Pasti seperti
pemenang pada perang saudara."
"Maksudku, hanya ingin menyelesaikan persoalan antara kita. Bukan untuk
berbunuh-bunuhan. Karena kita berhabat karib." kata si kekar dengan
suara lirih.
Si kurus membalikkan badannya. Lalu melangkah ke arah mereka datang tadi. Tidak tergesa-gesa. Juga tidak pelan.
"Tunggu. Tunggu aku." seru si kekar. Karena si kurus terus menjauh, dia
mengikuti dengan langkah panjang-panjang. "Jangan kau salah mengerti.
Sebenarnya aku tidak hendak berkelahi. Apalagi dengan kau." katanya
setelah dekat.
Si kurus tidak menjawab. Dia terus berjalan tanpa mem- lambatkan
langkah. Si kekar terus juga bicara tentang pe- nyesalannya mengajak si
kurus ke tempat yang sepi itu. Kemudian katanya: "Aku minta maaf
sebesar-besar maafmu.
Kau mau, bukan?" Karena si kurus terus tidak berkata, di pegangnya
tangan si kurus. Tapi si kurus merenggutkan tangannnya dari pegangan
itu. Terperengah berdiri si kekar beberapa saat.
Angin malam terasa bertiup lagi. Dedaunan pohon ping- gir jalan itu
mendesau seketika. Si kekar melangkah cepat, lebih cepat dari langkah si
kurus. Setelah beberapa langkah mendahului, dia berdiri dan menanti si
kurus mendekat.
Didekapnya kedua telapak tangannya di bawah dagunya se- perti patung
Budha. Lalu katanya memelas: "Aku minta sung- guh, jangan kau ceritakan
peristiwa ini kepada siapapun. Hancur harga diriku. Akan apa kata Nita,
kalau dia tahu?
Hancur aku. Hancur."
Si kurus terus melangkah. Si kekar terus menghadang dengan langkah
mundur. Tanpa merobah letak kedua tangan, si kekar berkata lagi: "Apapun
yang kau minta akan aku beri, asal kau tidak ceritakan kepada siapapun.
Habis aku. Hancur harga diriku. Katakan apa yang kau mau. Kalau kau mau
Nita, ambillah. Aku ikhlas."
Tiba-tiba dia berhenti. Dia ingat mantelnya tergantung pada ranting
belukar. Tergesa-gesa dia kembali untuk mengambilnya. Tergesa-gesa pula
dia mengenakan mantel serta mengancingkannya. Sedangkan matanya terus
juga memandang si kurus yang kian menjauh dan kian hilang dalam gelap
ma- lam. Dia berlari mengejar sambil memangil-manggil nama si kurus dan
minta si kurus menunggu. Ketika sampai di tempat mereka berpisah tadi,
si kekar berhenti. Dia memandang berkeliling mencari dimana si kurus
berada. Tidak siapapun terlihat, selain gelap malam. Bulu romanya
merinding. Sambil berlari kencang, dia memanggil nama si kurus
keras-keras. "Dali, tunggu. Dali, tunggu. Jangan tinggalkan aku.
Daliiii."
Si kurus keluar dari persembunyiannya di belukar, setelah suara si kekar
tidak terdengar lagi. Dia bersembunyi karena enggan berjalan seiring
dengan sahabat lama yang sudah jadi bekas sahabat.
Kayutanam, 30 Agustus 1999.